Marga Rangkuti
Orang-orang Mandailing bermarga
Rangkuti dan pecahannya marga Parinduri, juga tidak menudukung pendapat yang
mengatakan mereka bersal dari Toba. "...sampai kini tidak seorang pun
marga Rangkuti yang menganggap dirinya Batak, tidak marmora (punya hubungan
kerabat mertua) dan tidak maranak boru (punya hubungan kerabat bermenantu) ke
Tanah Batak". Sebab "menurut penuturan yang dihimpun dari orang-orang
tua di Mandailing dan disesuaikan pula dengan tarombo marga Rangkuti, bahwa
Ompu Parsadaan Rangkuti (nenek moyang orang-orang bermarga Rangkuti) di Runding
bernama Mangaraja Sutan Pane, yang pada kira-kira abad ke XI datang dari Ulu
Panai membuka Huta Runding dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan tersebut
berhadapan dengan Harajaon (kerajaan) Pulungan di Hutabargot di kaki Tor
(gunung) Dolok Sigantang di seberang sungai Batang Gadis kira-kira 16km dari
Panyabungan". Versi lain pula mengatakan bahwa
nenek moyang orang Mandailing bermarga Rangkuti pada mulanya datang "dari
Aceh Selatan (dari Rondeng Tapak Tuan) menyusur pantai laut sampai ke
Natal". Dari sana mereka kemudian turun ke Mandailing Godang dan
mendirikan perkampungan mereka yang dinamakan Runding sesuai dengan nama tempat
asal mereka.
Marga Nasution
Orang-orang Mandailing bermarga
Nasution meyakini mereka adalah keturunan Si Baroar yang pada masa bayinya
ditemukan di tengah hutan oleh Sutan Pulungan raja dari Huta Bargot di
Mandailing Godang. Versi lain mengatakan bahwa "Nasution yang pertama
kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyong (pusat dari
kerjaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan
Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita
Indonesia. Dalam perjalanan menjelajahi
pulau Sumatra, Iskandar Muda sampai berhubungan dengan seorang gadis bunian,
yang melahirkan seorang anak lelaki untuknya." Anak tersebutlah
kemudiannya ditemukan Sutan Pulungan di tengah hutang sedang ia berburu. Kisah tentang Si Baroar sangat
meyakinkan bagi masyarakat Mandailing karena sekitar pertengahan abad yang lalu
kisah tersebut telah dituliskan oleh Willem Iskander (1840-1876) dalam buku
karangannya berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk. Buku tersebut yang
ditulis dalam bahasa Mandailing dipakai untuk bacaan di sekolah-sekolah sampai
pada masa awal kemerdekaan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar